Senin, 21 Februari 2011

Dampak Menonton Televisi


Anak dan televisi mempunyai hubungan yang sangat dekat. Bahkan mungkin bisa jadi hubungan antara anak dengan televisi lebih dekat dibandingkan dengan interaksi antara anak dengan keluarga atau orangtuanya. Kehadiran televisi sesungguhnya bagai pisau bermata ganda, memberikan pengetahuan namun sekaligus berdampak negatif dalam proses perkembangan anak, baik fisik, psikis, maupun sosial.
Penelitian oleh Astuti, dkk. (dalam Sari, 2008) menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara lamanya menonton televisi dengan fungsi retina pada anak usia 6-13 tahun. Televisi memancarkan sinar biru yang juga dihasilkan oleh matahari, namun sinar biru ini berbeda dengan sinar ultra violet. Sinar biru tak membuat mata mengedip secara otomatis. Parahnya, sinar biru langsung masuk ke retina tanpa filter. Panjang gelombang cahaya yang dihasilkan adalah 400-500nm sehingga berpotensi memicu terbentuknya radikal bebas dan melukai fotokimia pada retina mata anak. Sepuluh tahun kemudian saat anak sudah dewasa, kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar biru terlihat amat jelas. Retina mata tak lagi bening sehat seperti masa kanak-kanak sehingga kemampuan berfungsinya pun menjadi juga berkurang. Saran dari penelitian Astuti, dkk. Adalah bahwa ambang waktu menonton televisi 60 menit (anak 6-9 tahun) dan 90 menit (anak 9-12 tahun) (Astuti, dkk., dalam Sari, 2008).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara banyaknya jam yang dihabiskan untuk menonton televisi dengan obesitas. Hal ini disebabkan anak-anak yang banyak menonton televisi akan sedikit melakukan aktivitas gerak. Belum lagi bila pada saat menonton, mereka ”ditemani” sepiring cemilan atau jajanan.
Dr. Roberd Friedland, seorang dokter spesialis saraf Amerika, menyebutkan bahwa sebagian besar penderita Alzheimer (penurunan daya ingat/pikun dini) adalah orang yang jarang melakukan aktivitas fisik dan mental yang bermanfaat, dan hanya banyak menonton televisi.
Banyak penelitian yang mengungkapkan relasi antara kekerasan dengan tayangan televisi. Bahkan, pakar pendidikan Indonesia, Prof. Arief Rachman, menyatakan bahwa kekerasan yang yang ditayangkan televisi sangat efektif merangsang naluri manusia yang paling rendah yang menyamai insting binatang, salah satunya adalah insting membunuh (Koran Tempo, 29 November 2006). Film kartun juga tidak luput dari beragam adegan kekerasan, seperi memukul baik dengan tangan kosong maupun senjata tumpul, menendang dan bahkan membunuh. Perhatikan ketika tokoh dalam film kartun Tom dan Jerry sedang berkelahi! Karakter film kartun yang berwujud kucing dan anjing ini selalu digambarkan terus-menerus ribut dan nyaris tidak pernah rukun. Keributan di antara keduanya selalu diwarnai dengan kekerasan fisik, bahkan acapkali kekerasan di antara keduanya melibatkan penggunaan senjata tajam. Selain perilaku negatif berupa kekerasan, ada perilaku negatif lain yang dipertontonkan oleh Tom and Jerry yaitu permusuhan yang selalu mewarnai interaksi mereka.
Televisi ternyata dapat mengganggu pembentukan kemampuan anak-anak dalam memusatkan perhatian (inatensi). Penelitian tim dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, menemukan ketika anak-anak yang berusia tiga tahun ke bawah bermain di dalam ruangan yang ada televisi, waktu bermain mereka 5% lebih singkat ketimbang jika tidak ada televisi. Keberadaan televisi juga membuat mereka tidak fokus saat bermain. Senada dengan hal di atas, Dr. Daniel Bronfin dari New Orleans mengungkapkan bahwa televisi berpotensi menaikkan risiko terjadinya gangguan perilaku pada anak-anak, seperti kesulitan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas. Bila dicermati, gambar-gambar televisi berubah cepat tiap 2-3 detik, padahal kemampuan otak anak adalah 4-6 detik, sehingga otak tidak sempat memproses image secara baik. Di samping itu, tayangan yang tersaji mengandung 5 komponen stimulus yaitu gambar, warna, suara, gerakan, dan cahaya. Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut, American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan agar anak-anak berusia dua tahun atau kurang tidak diberi akses menonton televisi (Media Indonesia Online, 2008).
Tayangan televisi juga merupakan media peniruan dan penanaman nilai negatif, padahal anak-anak belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas. Beberapa tayangan anak-anak di televisi memberi pembenaran atas perilaku negatif seperti mencontek, mempertontonkan aib orang lain dan menipu. Belum lagi film-film kartun yang penuh dengan kemunculan bahasa kekerasan, seperti kata-kata goblok, enyahlah, dan sebagainya. Konsumtivisme anak-anak sekarang juga banyak dikaitkan dengan tayangan dan iklan di televisi.
Usia anak adalah usia dimana si anak sedang mengembangkan segala kemampuannya seperti kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain dan kemampuan mengemukakan pendapat. Ketika menonton televisi, anak cenderung untuk bersikap individualis sehingga ketrampilan-keterampilan anak tersebut menjadi kurang berkembang. Berbeda sekali ketika anak bermain bersama teman-temannya. Saat bermain, mereka akan saling bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jika proses ini terjadi terus menerus maka yang terjadi adalah semakin turunnya kemampuan anak dan remaja dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Di antara berbagai dampak negatif tersebut, sebenarnya televisi juga memiliki sisi yang positif. Dalam hal ini, Media Audio Visual Elektronik mampu memberikan gambaran secara nyata tentang berbagai fenomena pada anak, lebih konkrit, lebih mudah dipahami. Dengan demikian, anak akan lebih tertarik dan terjadi peningkatan retensi memori. Sisi positif dari menonton televisi adalah bahwa di beberapa tayangan tertentu dapat menjadi sumber pelajaran yang membantu kita, terutama anak dan remaja untuk memahami dunia dan bahkan memperkaya ilmu yang telah didapatkan di bangku sekolah. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa perilaku menonton acara bermuatan pendidikan seperti Sesame Street selama 1-3 jam seminggu terbukti memiliki efek positif bagi kecerdasan anak. Dalam hal ini, anak-anak tersebut ternyata memperoleh nilai akademik lebih baik tiga tahun kemudian, dibandingkan anak-anak yang tidak menonton program pendidikan itu. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan film-film kartun terbukti memperoleh nilai akademik lebih rendah dibanding anak-anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton program yang sama. Hasil positif juga dipaparkan dari riset tersebut, berkaitan dengan tingkat usia anak. Pada anak-anak yang lebih kecil, usia 2-3 tahun, efek program pendidikan itu jauh lebih kuat.
Aspek positif lainnya dari kehadiran televisi ialah sebagai sumber informasi tentang peristiwa-peristiwayang terjadi dengan cepat seperti kejadian bencana alam dan sebagainya, yang perlu diketahui dan mendapat perhatian secara cepat. Selain itu, televisi juga berfungsi positif sebagai media sosial, yakni sebagai media untuk memobilisasi simpati, empati, dan dukungan terhadap berbagai persoalan kemanusiaan yang memerlukan respons masyarakat luas seperti gerakan solidaritas membantu korban bencana, gerakan orangtua asuh, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar